Iklim politik kita hari ini panas dingin, ibukota sebentar lagi mengadakan perhelatan pemilihan Gubernur. Beberapa waktu kebelakang muncul kontroversi dari salah satu calon Gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan pernyataan yang bernada melecehkan kitab suci dengan menyinggung-nyinggung salah satu ayat Al-Qur’an. Sontak pernyataan ini mendapat reaksi dari ummat Islam, tidak hanya di Jakarta tapi hampir merata diseluruh Indonesia. Saat ini, gabungan seluruh muslim menuntut agar sikap dan tindakan Basuki diproses secara hukum.
Seiring dengan polemic ini, juga muncul kepermukaan sentimen Anti-China dikarenakan Basuki berasal dari etnis Tionghoa. Jika diamati, sentimen ini berada pada titik panas dikalangan muslim. Benarkah? Mungkin pembaca bisa memastikannya sendiri. Apakah sentimenil ini hanya muncul pasca Basuki melecehkan ayat Al-Qur’an? Jika kita tarik lagi kebelakang, sikap anti terhadap etnis tertentu sudah lama ada dan isu yang selalu bergulir, baik ketika ada event politik ataupun tidak. Saat pilpres 2014 pun, isu Anti-China juga menjadi bagian iklim panas pilpres.
Hujatan-hujatan pedas menolak keberadaan etnis Tionghoa dalam kehidupan bernegara muncul dalam berbagai bentuk Bahasa. Pada intinya ada pada penolakan berada dibawah kekuasaan etnis Tionghoa, pada politik, ekonomi, sosial, budaya dan sektor-sektor lainnya. Isu ini semakin memanas dikalangan masyarakat Indonesia setelah diketahui pada beberapa daerah ditemuinya pekerja asing yang berasal dari negeri Tiongkok atau China. Prasangka-prasangka bermunculan, ada yang mengatakan negara kita akan di okupasi oleh etnis Tionghoa dengan secara perlahan mendatangkan pekerja dari negeri Tirai Bambu. Seiring dengan itu, Ibukota saat ini juga sedang melaksanakan proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Di negeri Tirai Bambu sendiri beredar tayangan iklan promosi pulau reklamasi yang sedang berjalan. Desas-desus pencaplokan wilayahpun semakin santer di sebagian masyarakat Indonesia. Kejadian-kejadian tersebut merupakan bagian berbagai fragmen yang menyebabkan legitimasi sentimen anti-China menyulut reaksi publik.
.
Kedewasaan Menanggapi Isu
Kecanggihan teknologi informasi kita, membuat isu ini semakin viral. Respon dalam bentuk hujatan, propaganda, dan obrolan anti kepada etnis Tionghoa tak ada putus-putusnya. Tapi, apakah dengan memperpanjang bahasan isu sentimen anti-China ini, termasuk propaganda upaya pengusiran terhadap etnis ini –pada titik ekstrim- menjadi solusi dan masalah akan terselesaikan? Sebuah pertanyaan bagi kita semua, apa dasar yang menguatkan sentimen anti-China sehingga isu ini logis dan layak kita angkat? Sebagian intelektual berpendapat hal ini membuat iklim politik dan keharmonisan antar etnis guncang dan mengarah kepada disintegrasi bangsa. Demokrasi yang berupaya mengayomi berbagai elemen bangsa tidak lagi sehat, kondisi perpolitikan akan tampak runyam. Hal-hal substansi terkait kemashlahatan bersama terabaikan, sehingga cita-cita menjadi bangsa yang madani hanya akan selalu ada diatas kertas tapi minim implementasi.
Pada kondisi ini, perlu kedewasaan dalam menghadapi isu. Kemarahan dan emosi menghilangkan rasionalitas dan logika, walhasil melekatlah titel manusia ‘sumbu pendek’ kepada kita yang gusar dan tersulut. Seperti kata para tetua, sebagai manusia yang dianugerahi akal dan pikiran sebaiknya kita bisa pilah dan pilih mana masalah yang pokok dan mana masalah yang mesti diabaikan. Sebagai masyarakat yang selalu memperhatikan perkembangan dan menjadi bagian dari dinamisasi polekososbud Indonesia, pertentangan rasial, agama dan etnis lebih bijak ada ruang pembahasan khusus. Apalagi kita hidup selalu memegang teguh nilai keagamaan. Dalam Islam, hal ini memiliki dasar kuat untuk tidak menguar pertentangan rasis seperti yang termaktub didalam Al Qur’an
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (Q.S Al – Hujurat: 13).
Darisini kita dituntun menjadi manusia dewasa yang bisa memilah-milah berbagai isu dan permasalahan serta meletakkannya pada tempat yang benar dan pas, sehingga tidak memperlebar pertentangan. Masalah pelecehan ayat Al Qur’an, kita sudah diatur dalam regulasi penistaan agama, hal ini tinggal dijalankan sesuai aturan mainnya. Seperti kata Kang Eep, jadilah ummat yang responsive bukan reaktif. Masalah kedatangan tenaga kerja asing dan kekhawatiran akan dicaploknya wilayah negara ini, justru kita mesti melihat kepada daya saing tenaga kerja yang harusnya kurang kompetitif dan adanya celah pertahanan negara yang bisa disusupi. Keadaan seperti ini menjadi pekerjaan rumah bersama, selaiknya kita urun ide bukan menyebarluaskan ketakutan dan propaganda. Begitupun dengan isu dan sentimen Anti-China pada bidang yang lain, mesti cerdas pilah-pilih masalah.
Keberadaan etnis China tidak bisa kita tolak dan ini merupakan sunnatullah. Apakah kita akan menentang ‘keputusan’ ini? Sepertinya kita akan menjadi ingkar terhadap keberadaan ayat Al Hujurat ayat 13 jika masih ngotot menentang keberadaan Etnis Tionghoa atau etnis-etnis lain yang berbeda dengan kita. Mari hidup dalam kebhinekaan dengan memegang teguh nilai Pancasila dan menggenggam erat keyakinan masing-masing sebagai pedoman, bersama dalam satu tujuan Indonesia yang madani, adil, makmur, sejahtera.
Imaji Sore
yandri_rama